Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia mempunyai peranan dan tanggung jawab besar dalam membangun dan mensejahterakan bangsa sehingga jika bangsa Indonesia terpuruk, umat Islam yang paling bertanggung jawab. Demikian taushiyah Gus Mus dalam Halalbihalal UIN Malang beberapa waktu lalu.
“Kalau bangsa ini terpuruk, umat Islam yang paling bertanggung jawab. Kalau Indonesia bagus, umat Islam yang harus bersyukur. Karena fakta membuktikan bahwa umat Islam adalah mayoritas,” urai Gus Mus di hadapan ribuan karyawan dan dosen UIN Malang itu.
Gus Mus juga mengungkapkan saat ini banyak orang yang tidak ikhlas. Dalam bergaul, berzakat tidak ikhlas. Ikhlas dan merasa bersalah, itu yang sekarang sangat lux dan sulit dijumpai. Entah karena apa, sehingga tidak mau meminta ampun kepada Allah. Dan inilah, salah satu kemenangan setan karena sudah mampu merasuki hati manusia agar merasa tidak bersalah dan tidak ikhlas. Akibatnya kepada bangsa ini adalah Indonesia tidak memiliki citra dan kepercayaan.
“Allah itu mempunyai hobi mengampuni hambanya, sayangnya setan sudah berhasil merasuki hati manusia untuk tidak pernah merasa bersalah. Padahal lembaga pengampunan Allah itu luar biasa banyaknya,” tutur Gus Mus.
Memanusiakan Manusia
Sementara itu dalam halalbihalal ITS, Gus Mus mengingatkan agar kita tetap menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia melalui cara memanusiakan manusia itu sendiri.
“Meskipun sering puasa dan ibadah segala macam kepada Allah SWT, tapi kalau masih suka menyakiti atau merampas hak orang lain tetap akan terganjal jalannya menuju surga,” kata Gus Mus dalam ceramahnya yang bertema Penerapan Sifat Fitri pada Kehidupan Profesi, dalam kegiatan Halal Bihalal bersama civitas Akademika ITS di Graha Sepuluh Nopember ITS awal oktober lalu.
Karena itu, lanjutnya, halal bihalal seperti ini juga sangat dibutuhkan untuk melebur kesalahan kepada orang lain agar dapat dimaafkan. Halal bihalal sendiri, menurut Gus Mus, memang hanya merupakan tradisi di Indonesia setelah perayaan lebaran. “Tapi ini merupakan tradisi yang sangat bagus sekali dan harus terus dilestarikan,” ujarnya.
Terkait dengan tema yang ada, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin ini juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan kondisi fitri.
“Kondisi fitri itu adalah kondisi seperti kertas putih yang belum tercoret, tinggal bagaimana mempertahankannya dalam kehidupan selanjutnya,” tutur pria yang juga dikenal sebagai seniman ini.
Gus Mus juga menyamakan istilah fitri sama dengan saleh, dan kesalehan sama dengan kepatutan. Jadi setiap orang yang menerapkan sifat fitri harus melaksanakan kepatutan sesuai dengan profesi yang disandangnya. Peringatan ini seolah-olah juga ditujukan untuk menyentil para pejabat yang kadang lupa akan tugas kepatutan profesinya.
“Masih banyak juga saat ini pemimpin yang belum bisa memanusiakan bawahannya, atau sering hanya fokus ibadah pada Allah tapi tidak mengembangkan ilmunya kepada manusia sekitarnya,” tukasnya prihatin. (Diolah dari malangpost & suarasurabaya)
Memanusiakan Manusia
Sementara itu dalam halalbihalal ITS, Gus Mus mengingatkan agar kita tetap menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia melalui cara memanusiakan manusia itu sendiri.
“Meskipun sering puasa dan ibadah segala macam kepada Allah SWT, tapi kalau masih suka menyakiti atau merampas hak orang lain tetap akan terganjal jalannya menuju surga,” kata Gus Mus dalam ceramahnya yang bertema Penerapan Sifat Fitri pada Kehidupan Profesi, dalam kegiatan Halal Bihalal bersama civitas Akademika ITS di Graha Sepuluh Nopember ITS awal oktober lalu.
Karena itu, lanjutnya, halal bihalal seperti ini juga sangat dibutuhkan untuk melebur kesalahan kepada orang lain agar dapat dimaafkan. Halal bihalal sendiri, menurut Gus Mus, memang hanya merupakan tradisi di Indonesia setelah perayaan lebaran. “Tapi ini merupakan tradisi yang sangat bagus sekali dan harus terus dilestarikan,” ujarnya.
Terkait dengan tema yang ada, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin ini juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan kondisi fitri.
“Kondisi fitri itu adalah kondisi seperti kertas putih yang belum tercoret, tinggal bagaimana mempertahankannya dalam kehidupan selanjutnya,” tutur pria yang juga dikenal sebagai seniman ini.
Gus Mus juga menyamakan istilah fitri sama dengan saleh, dan kesalehan sama dengan kepatutan. Jadi setiap orang yang menerapkan sifat fitri harus melaksanakan kepatutan sesuai dengan profesi yang disandangnya. Peringatan ini seolah-olah juga ditujukan untuk menyentil para pejabat yang kadang lupa akan tugas kepatutan profesinya.
“Masih banyak juga saat ini pemimpin yang belum bisa memanusiakan bawahannya, atau sering hanya fokus ibadah pada Allah tapi tidak mengembangkan ilmunya kepada manusia sekitarnya,” tukasnya prihatin. (Diolah dari malangpost & suarasurabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar