Jumat, 06 Mei 2011

makalah "bangsa terpuruk tanggung jawab siapa?"

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Globalisasi Dalam Kebudayaan Nasional Indonesia
Pembangunan kerap mengesampingkan manusia dan budayanya. Akibatnya, tak jarang pembangunan mengalami kegagalan, tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan, atau bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Globalisasi budaya menjadi bahan perhatian ketika sebagian ahli telah tersadar akan adanya fenomena kontak, benturan dan konflik budaya. Fenomena ini terjadi ketika kontak antara negara maju dan negara berkembang menjadi sedemikian kuatnya. Kuatnya penetrasi budaya modern membawa konsekuensi semakin terpinggirkannya budaya tradisional yang telah hidup berabad lamanya di negara berkembang.
Pembangunan kerap kali didominasi oleh aspek ekonomi dan teknologi. Kedua aspek itu tentu perlu, tetapi sayangnya aspek manusia dan budayanya kerap dilupakan. Tidak mengherankan jika kemudian kajian antropologi yang berbicara tentang manusia dan budayanya juga menjadi terpinggirkan. Saat ini budaya barat berkembang dengan pesatnya di negara berkembang. Modernisasi yang dianggap tidak ubahnya sebagai westernisasi telah menggerus budaya tradisional. Negara maju dianggap memiliki kebudayaan yang lebih modern sehingga perlu ditiru oleh negara berkembang. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi menjadi faktor yang semakin memperkuat penetrasi budaya barat pada budaya tradisional. Menjadi sebuah ketidakadilan ketika arus pertukaran budaya hanya bersifat searah, yaitu dari negara maju ke negara berkembang.
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita.
Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
            Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.
            Globalisasi tidak selalu bisa diterjemahkan sebagai proses homogenisasi global. Telaah tentang eksisten kebudayaan nasional dalam konteks globalisasi, memang cenderung terpola sekitar kemungkinan tampilnya kebudayaan global, atau homogenisasi global dari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Kubu pemikiran kiri, dalam tema bahasan imperialisme kebudayaan, telah mengemukakan serangkaian fakta mengenai homogenisasi global, atau bahkan lebih spesifik lagi "Amerikanisasi" kebudayaan-kebudayaan nasional (antara lain oleh Hamelink,1993; Mattelart, 1983, and Sohiller, 1976). Kubu konservatif kanan cenderung pula menelaah globalisasi dalam kaitannya dengan homogenisasi global. Fukuyama (1989) contohnya, melalui tesis the end of history sebenarnya juga mengklaim, bahwa dengan robohnya komunisme dan fasisme, maka kapitalisme dan demokrasi akan menjadi bagian tiap kebudayaan nasional.

B. Multikulturalisme Budaya Indonesia
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multicultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar,yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi cirri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang  Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipilinis ecaralebih efektif  melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagaiposis idan jabatan dalam  berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaanmengalamiberbagaihambatan,karena  corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan disekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarny aterjadi pad amasa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalismediperlukanlandasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentangmultikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

C. Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia Dengan Penataan Pola Pikir
Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan dan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau “alergi” terhadap perkataan “Pancasila”. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat: “Apa dasar negara kita nanti?”.
Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak “ela-elo” (Sastro Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri dan percaya diri
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru-baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu pedoman acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara.
Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah “pembaharuan” dan juga “back-to-basics”, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan.
Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat, tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya “pembodohan sosial” di hadapan kita, antara lain dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme dan predatorisme. Pelaku dan korban “pembodohan sosial” ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi.
Upaya untuk “membentuk” suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis. Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.
Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti “sekolah unggulan” dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum­buhkan menum­buhkan pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi "proyek bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai “siswa sekolah Indonesia”, di manapun tempat bersekolahnya. Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Sosialisasi dari platform rnasional akan memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu “kecelakaan” besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.
Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (“brotherhood”) dan “keluarga luas” (extended family), dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara identitasnya Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997).

Senin, 02 Mei 2011

RANGKUMAN HASIL SEMINAR DENGAN TEMA “BANGSA TERPURUK TANGGUNG JAWAB SIAPA ?”


Narasumber : 1. Prof. Dr. Dede Mariana, M.si
    2. Gering Supriyadi

Apabila frase “bangsa” sebagaimana dimaksud panitia merupakan makna yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, itu artinya berdimensi luas mencangkup seluruh tumpah darah Indonesia. Inilah frase “bangsa” dalam pengertian yang luas. Sedangkan dalam pengertian yang sempit bangsa adalah kesatuan dari orang-orang yang bersamaan asal usul keturunannya, bahasa, adat istiadat dan sejarahnya. Barangkali temanya akan semakin jelas apabila kalimatnya menjadi Indonesia Terpuruk Tanggung Jawab Siapa? Setidaknya karena frase “bangsa” lebih abstrak ketimbang frase “Indonesia”.
Pemerintahan dalam arti statis adalah Negara sedangkan Negara dalam pengertian dinamis adalah pemerintah. Artinya, Negara Indonesia dengan pemerintahan Indonesia itu dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Jadi melalui common sense saja kita dapat membuat konstruksi jawaban atas pertanyaaan Indonesia Terpuruk Tanggung Jawab Siapa? Dalam bahasa lain dapat dijelaskan bahwa setiap saat pemerintahan Indonesia boleh saja runtuh tetapi Negara Indonesia harus tetap tegak. Dari prespektif seperti itu kita dapat diingatkan kambali bahwa mencintai Negara sebagai tanah air sama sekali berbeda dengan mencintai pemerintahan.
Secara lebih lengkap pemerintahan dapat diartikan sebagai kegiatan penyelengaraan negara guna memberikan pelayanan dan perlindungan bagi segenap warga masyarakat, melakukan pengaturan, memobilisasi semua sumber daya yang diperlukan, serta membina hubungan baik didalam lingkungan negara ataupun denagn negara lain. Di tingkat lokal tentu saja membina hubungan dengan pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah lainnya. 
Tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia sebagai mana dinyatakan dalam pembukaan  UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk turut serta dalam perdamaian dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara tersebut ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan, Pengendalian dan pengawasan harus ditempatkan sebagai bagian tak terpisahakan dalam kerangka pemberdayaan kampabilitas Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Negara kesejahteraan rakyat.
Indonesia merupakan negara hukum, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, sesuai dengan  amanat UU No. 28 tahun 1999.
Pemerintahan negara yang terdiri dari unsur legislatif, eksekutif, yudikatif, inspektif dan lembaga negara lainnya setelah terjadi amandemen UUD 1945 harus dapat manjalankan fungsi dan kewenangan dalam rangka check and balance. Pemisahan kekuasaan tidaklah diartikan bahwa masing-masing kekuasaan berdiri terpisah, melainkan adanya mekanisme pemberdayaan kekuasaan dan saling mengawasi agar fungsi dan kewenangan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Kapabilitas pemerintah/eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan harus didukung oleh infrastruktur dan suprastruktur yang baik. Pengembangan infrastruktur dan suprastruktur seharusnya berasal dari dalam diri birokrasi itu sendiri, sehingga memunculkan kesadaran akan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good government).



Indonesia Terpuruk, Umat Islam Bertanggung Jawab



Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia mempunyai peranan dan tanggung jawab besar dalam membangun dan mensejahterakan bangsa sehingga jika bangsa Indonesia terpuruk, umat Islam yang paling bertanggung jawab. Demikian taushiyah Gus Mus dalam Halalbihalal UIN Malang beberapa waktu lalu.
 “Kalau bangsa ini terpuruk, umat Islam yang paling bertanggung jawab. Kalau Indonesia bagus, umat Islam yang harus bersyukur. Karena fakta membuktikan bahwa umat Islam adalah mayoritas,” urai Gus Mus di hadapan ribuan karyawan dan dosen UIN Malang itu.
Gus Mus juga mengungkapkan saat ini banyak orang yang tidak ikhlas. Dalam bergaul, berzakat tidak ikhlas. Ikhlas dan merasa bersalah, itu yang sekarang sangat lux dan sulit dijumpai. Entah karena apa, sehingga tidak mau meminta ampun kepada Allah. Dan inilah, salah satu kemenangan setan karena sudah mampu merasuki hati manusia agar merasa tidak bersalah dan tidak ikhlas. Akibatnya kepada bangsa ini adalah Indonesia tidak memiliki citra dan kepercayaan.
“Allah itu mempunyai hobi mengampuni hambanya, sayangnya setan sudah berhasil merasuki hati manusia untuk tidak pernah merasa bersalah. Padahal lembaga pengampunan Allah itu luar biasa banyaknya,” tutur Gus Mus.


Memanusiakan Manusia

Sementara itu dalam halalbihalal ITS, Gus Mus mengingatkan agar kita tetap menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia melalui cara memanusiakan manusia itu sendiri.

“Meskipun sering puasa dan ibadah segala macam kepada Allah SWT, tapi kalau masih suka menyakiti atau merampas hak orang lain tetap akan terganjal jalannya menuju surga,” kata Gus Mus dalam ceramahnya yang bertema Penerapan Sifat Fitri pada Kehidupan Profesi, dalam kegiatan Halal Bihalal bersama civitas Akademika ITS di Graha Sepuluh Nopember ITS awal oktober lalu.

Karena itu, lanjutnya, halal bihalal seperti ini juga sangat dibutuhkan untuk melebur kesalahan kepada orang lain agar dapat dimaafkan. Halal bihalal sendiri, menurut Gus Mus, memang hanya merupakan tradisi di Indonesia setelah perayaan lebaran. “Tapi ini merupakan tradisi yang sangat bagus sekali dan harus terus dilestarikan,” ujarnya.

Terkait dengan tema yang ada, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin ini juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan kondisi fitri.

“Kondisi fitri itu adalah kondisi seperti kertas putih yang belum tercoret, tinggal bagaimana mempertahankannya dalam kehidupan selanjutnya,” tutur pria yang juga dikenal sebagai seniman ini.

Gus Mus juga menyamakan istilah fitri sama dengan saleh, dan kesalehan sama dengan kepatutan. Jadi setiap orang yang menerapkan sifat fitri harus melaksanakan kepatutan sesuai dengan profesi yang disandangnya. Peringatan ini seolah-olah juga ditujukan untuk menyentil para pejabat yang kadang lupa akan tugas kepatutan profesinya.

“Masih banyak juga saat ini pemimpin yang belum bisa memanusiakan bawahannya, atau sering hanya fokus ibadah pada Allah tapi tidak mengembangkan ilmunya kepada manusia sekitarnya,” tukasnya prihatin. (Diolah dari malangpost & suarasurabaya)